Minggu, 24 April 2016

Biografi Imam Muslim



IMAM MUSLIM
(204 H-820 M)
A.     Biografi Imam Muslim
            Nama lengkap imam Muslim adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Beliau di nisbatkan kepada Naisaburi karena dilahirkan di Nisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian timur-laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya atau kabilahnya yaitu Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin Sa’sa’ah suatu keluarga bangsawan besar. Ia dilahirkan pada tahun 204 H-820 M.[1]
                Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
            Imam Muslim belajar hadist mulai usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H-833 M.[2] Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
            Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
            Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.

            Sejak itulah beliau sangat serius dalam mempelajari dan mencari hadist. Pada masanya beliau terkenal sebagai ulama’ yang gemar berpergian melawat ke berbagai daerah atau negara untuk mencari hadist. Beliau pernah pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan tempat-tempat lainnya.
             Beliau  juga pernah ke kota Khurasan untuk belajar hadist kepada Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain. Ke Roy untuk belajar hadisyt kepada Nabi Muhammad bin Mahran, Abu Gasan dan lain-lain, ke Irak untuk belajar hadist kepada Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Maslamah dan lain-lain, ke hijjaz untuk belajar hadist kepada sa’id bin Mansyur dan Abu Mas’ab dan pernah ke Mesir untuk belajar Hadist kepada ‘Amar bin Sawad, Harmalah bin Yahya dan kepada para ulama’ ahli hadist lainnya. Ia pun pernah berkali-kali pernah mengunjungi kota Bagdad dan berguru kepada sejumlah ulama’ hadist senior. Ketika Imam Bukhori datang ke kota ini pun, ia aktif sekali menghadiri majlisnya dan menimbah banyak-banyak hadist dari al-Bukhari serta mengikuti jejaknya.
            Selain yang telah disebutkan diatas, masih sangat banyak guru beliau misalnya Usman Dan Abu Bakar, Keduanya Adalah Putra Abu Syaibah, Syaiban Bin Farwakh, Abu Kamil Al-Juri Zuhair Bin Harab, ‘Amir Al-Naqib, Harun Bin Sa’id Al-‘Ayli, Qutaibah Bin Sa’id, Qatabah Bin Sa’id, Al-Qa’nabi, Ismail Bin Uwais, Muhammad Bin Al-Musannah, Muhammad Bin Yassar, Muhammad Bin Rumhi dan lain-lain.
            Diantara sekian banyak muridnya, yang menonjol adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih dan zahid, yang merupakan periwayat utama dalam Sahih Muslim.
            Imam Muslim adalah salah seorang ahli muhaddis, hafiz yang terpercaya. Beliau banyak menerima pujian dan pangakuan dari para ulama’ hadist maupun ulam’ lainnya . al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sannat lengkap, dari Ahamad bin Salamah, katanya : "Saya melihat Abu Zur’ah daan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadist Shahih atas guru-guru mereka pada masanya. [3]
            Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.
            Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
             Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
            Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.
            Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).
            Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
            Seperti halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
            Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
            Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
            Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.
            Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.
            Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari lakukan.
            Imam Muslim adalah seorang sudagar yang beruntung ramah dan memilii reputasi tinggi. Al-Zahabi menjulukinya sebagai Muhsin Naisabur. Beliau tidak fanatik dngan pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerimah pendapat atau Kebenaran Dari Orang Lain
            Beliau Telah Berhasil Menyusun Banyak Karya, Diantaranya Kitab : (1) Al-Jami’ Al-Sahih, (2) Al-Musnad Al-Kabir ‘Ala Al-Rijal, (3) Al-Jabir Al-Khabir, (4) Al-Asma’ Wa Al-Kuna, (5) Al-‘Llal, (6) Awham Al-Muhaddisin, (7) At-Tamyin, (8) Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, (9) Al-Tabaqat Al-Tabi’in, (10) Al-Mukhadramin, (11) Awlad Al-Sahabah, (12) Intifa’ Bin Uhud (Julud) Al-Siba’, (13) Al-Aqran, (14) Su’alatihi Ahmad Bin Hanbal, (15) Al-Afrad Wa Al-Wihdan, (16) Masyaikh Al-Sauri, (17) Masyaikh Syu’bah, (18) Masyaikh Malik, (19) Al-Tabaqat Dan (20) Afrad Al-Syamiyin, (21) Al-Wuhdan, (22) Al-Sahih Al-Musnad, (23) Hadist ‘Amir Bin Syu’aib, (24) Rijal ‘Urwah, Dan (25) Al-Tarikh.[4]
            Menurut laporan Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, Imam Muslim telah menyusuntiga kitab musnad, yaitu:
1.      Musnad yang beliau bacakan kepada masyarakat adalah sahih.
2.      Musnad yang memuat hadist-hadist, meskipun dari periwayat yaang lemah.
3.      Musnad yang memuat hadist-hadist, meskipun sebagian hadist itu berasal dari periwayat yang lemah.

B.     SETTING SOSIAL-POLITIK
            Imam Muslim hidup pada masa daulah abbasiyah yang pusat kekuasaanya di kota Baghdad. Beliau hidup pada masa Abbasiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H-847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, bahkan samapai abad ke-4 hijriyah daulah islamiyah mencapai zaaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak terkecuali dalam bidang hadist. Keadaan itu antara lain karena negara-negara lain bagian dari Kerajaan Islam Raya berlomba-lomba dalam memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama’ dan para pujangga.[5]
            Pada masa ini secara politik terjadi rebutan pengaruh keturunan Arab dan keturunan Persia, keturunan Persia semakin eksis dan berpengaruh, sementara pengaruh dan keterlibatan keturunan arab semakin terpinggirkan. Keadaan inilah yang memicu ketegangan dan perpecahan umat Islam.
             Dalam pada itu, gerakan-gerakan atau aliran-aliran agama banyak bermunculan yang sering kali dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, misalnya gerakan al-Rawandiyah, al-Muqanna’iyah, al-Khurramiyah dan al-Zanaqiyah. Demikian juga timbul gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisis yaitu Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Dan Ahl Al-Sunnah.
            Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 hijriyah, telah lahir pada mujtahid dibidang ilmu fiqih dan ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan islam pun sangat pesat diantara para mujtahid, hubungan mereka sesungguhnya tidak ada masalah. Namun dikalangan para murid dan pengikutnya umumnya mereka sangat panatik dan bersikap taqlid, sehingga sering kali terjadi konflik diantara mereka yang terkadang melibatkan para ulama’nya.
            Dalam abad ketiga ini bentrokan pendapat telah makin meruncing, baik antar golongan, madzb fiqih, maupun antaar maadzab ilmu kalam. Paraa ulaama’ hadist pada masa ini menghadapi golongan madzab fiqih yang fanatik, dan madzab ilmu kalam, kusussnya kaum mu’tazilah, yang sangat memusuhi ulama’ hadist. Pertentangan pendapat antara ulama’ ilmu kalam dan ulam’ hadist sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad ke-2 hijriyah. Tetapi karena pada masa-masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada pada tingkat ketengangan-ketengangan antar golongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad ke-3 hijriyah di pegang oleh Khalifah al-Ma’mun (w.218 H-833 M) yang pendapatnya sama dengan kaum mu’tazilah, khususnya tentang kemakhluqkan al-qur’an, maka ulama’ hadist menghadapi ujian yang lebih berat lagi.
            Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi ulama’ hadist ini tetap berlanjut pada masa khalifah al-Mu’tasim (w.227 H-842M) dan al-wasiq (w.232H-846M). Barulah pada waktu khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H-846 M), ulama’ hadist mulai mendapat hadist segar yang menyenangkan, sebab khlifah ini memiliki kepedulian kepada al-Sunnah.
             Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadist. Pada masa ini hadist-hadist nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara itu, pemalsuan hadist dengan motifasi yang berbeda beda pun kian meraja lela. Dalam suasana seperti ini, bangkitlah para ulama’ hadist, melawat mencari hadist, menyeleksi dan menghimpun atau mengodifikasikannya. Imam muslim pun menyusun kitaab sahihnya.
            Bagi imam Muslim sekurang-kurangnya ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi dan memotivasi penyusun kitabnya tersebut. Kedua alasan itu adalah (1) karena pada masanya masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadist yang memuat hadist-hadist shohih dengan kandungan yang relatif komprehensif dan sistematis, dan (2) karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadist) palsu, yang mencapuradukkan antara hadist-hadist yang sahih dan yang tidak.
            Jadi jika memperhatika preodisasi sejarah dan perkembangan hadist, dapat dinyatakan bahwa kitab Sahih Muslim muncul pada periode ke-5(abad ke-3 H), yaitu masa pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan.pada periode ini, kegiatan ulama’ hadist antara lain mengadakan lawatan ke daerah daerah yang jauh, mengadakan klasifikasi hadist-hadist yang marfu’ (yang disandarkan pada nabi) yang maauquf (yang disandarkan pada sahabat) dan yang maqtu’ (yang disandarkan pada tabi’in), serta membuat klasifikasi kualitas hadist menjadi sahih dan daif. Selain itu mereka pun menghimpun kritik-kritik yang dilontarkan oleh ulama’ ilmu kalam dan lain-lain, baik yang di tunjukkan kepada para periwayat yakni pada sanadnya maupun pada matan hadistnya. Mereka pun menyusun kitab-kitab koleksi hadist secara sistematis.[6]

C.    Akhir Hayat Imam Muslim
            Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat
D.    Para Guru Imam Muslim
            Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
E.     Murid yang meriwayatkan Haditsnya
            Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.
F.     Pujian para Ulama Terhadap Imam Muslim
            Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat–ilat (cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata: “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya.” Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.” Abu Quraisy berkata: “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.




[1] Berbagai referensi lainnya menyatakan beliau lahir 206 H
[2] Muhammad Muhammad Abu syuhbah (selanjutnya ditulis  : Abu Syuhbah),Fi Rihab al Sunnah  al-Kutub al-Sihah al-Sittah, (kairoh: majma’ al buhus al-Islamiyyah, 1389 H-1969 M), 80
[3] DR. M. ABDURRAHMAN, MA, studi kitab hadist (yogyakarta:TERAS,2003),57.
[4] Ibid., 84, Al-Husaini Abd al-Majid Hasyim, Usul al-Hadist al-Nabawi: ‘Ulumuh wa Maqayisuh (kairoh: Dar al-Syuruq, 1406 H-1986 M), 210 dan Muhammad Mustafa Azami, studies....... 95
[5] A.Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 216.
[6] M.Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist (Bandung: Angkasa, 1991), 111-118.

biografi imam bukhari



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Namanya sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits. Sebagian ulama menyebutnya dengan julukan Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin kaum mu’min dalam hal ilmu hadits).
            Kemampuan dan kecerdasan Bukhari mendapat pujian dari ulama, rekan, maupun generasi sesudahnya. Imam Abu Hatim Al-Razi misalnya, berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi darinya.” Demikian juga dengan Imam Muslim pernah mencium diantara kedua mata Imam Bukhari seraya berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah Imam ahli hadits dan dokter penyakit hadits.”[1]
            Demikian besar jasa dan pengaruh Imam Bukhari dalam bidang keagamaan, khususnya dalam persoalan hadits. Maka pada makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan Imam Bukhari sang Amirul Mukminin fil Hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi singkat seorang Imam Al-Bukhari?
2.      Bagaimana kekuatan Imam Al-Bukhari dalam menghafal?
3.      Siapa saja guru Imam Al-Bukhari?
4.      Siapa saja murid Imam Al-Bukhari?
5.      Apa saja karya Imam Al-Bukhari?
6.      Kapan wafatnya Imam Al-Bukhari?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi singkat tentan Imam Al-Bukhari.
2.      Mengetahui bagaimana kekuatan hafalan Imam Al-Bukhari.
3.      Mengetahui siapa saja guru Imam Al-Bukhari.
4.      Mengtetahui siapa saja murid Imam Al-Bukhari.
5.      Mengetahui apa saja karya Imam Al-Bukhari.
6.      Mengetahui wafatnya Imam Al-Bukhari.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Imam Al-Bukhari
Nama lengkap tokoh ini Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizyah Al-Jufri Al-Bukhari. Ia lahir pada hari Jum’at 13 syawal 194 H = 21 Juli 810 M[2] di kota Bukhara (suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok). Untuk mengetahui bentuk fisik Al-Bukhari, Imam Ibnu ‘Adi mengatakan, “Aku pernah mendengar Hasan bin Husain Al-Bazzaz, aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek”.[3] Ayahnya seorang alim di bidang hadits, mempelajari dari sejumlah ulama terkenal, seperti Imam Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid dan Ibn al-Mubarak.[4] Ketika Al-Bukhari masih kecil ayahnya meninggal. Nasibnya masih beruntung karena ayahnya tergolong orang yang berada, sehingga hidupnya tidak terlalu sengsara, karena mewarisi kekayaan ayahnya. Tampaknya spesialisasi ayahnya inlah yang mengilhami Al-Bukhari untuk menekuni hadits. Al-Bukhari tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan ibu.
Kakeknya yang nomor 3 diatasnya masih memakai nama Persi, yaitu Bardizbeh, dan belum memeluk Islam, masih beragama Zoroaster. Barulah kakeknya nomor 2 memasuki agama Islam dangan nama “Mughirah. Meskipun masa keislaman bagi keluarganya masih baru sekali, barulah dalam 3 ali keturunan, tetapi kekuatannya beragama cukup terkenal, dan sudah menduduki tempat yang terhormat di dalam keislaman. Ayahnya bernama Ismail, termasyhur seorang ulama, yang sangat shaleh dan bersih kehidupannya.
Pada masa kanak-kanak, Al-Bukhari sempat mengalami kebutaan. Suatu malam, sang ibu bermimpi melihat Ibrahim al-Khalil alaihissalam dan berkata kepada ibunya, “Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan kepada anakmukarena engkau banyak menangis (banyak berdo’a)”. Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal.
Imam Al-Bukhari memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau telah menghafalkan Al-Qur’an sejak kecil juga. Inilah salah satu faktor Allah mengilhamkan pada Muhammad bin Ismail kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi SAW. Imam Al-Bukhari menceritakan, Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada Ad-Dakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits dihadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim. Maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin Adi dari Ibrahim.”. beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “engkau benar”.
Imam Al-Bukhari juga pernah menceritakan, Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang Syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”.
Bukhari mulai belajar hadits saat masih muda, bahkan masih kurang 10 tahun. Pada usia 16 tahun, dia telah menghafal banyak kitab ulama terkenal, seperti Ibn al-Mubarak, Waki’, dan sebagainya. Ia tidak berhenti pada menghafal hadits dan kitab para ulama awal, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang ambil dibagian dalam periwayatan suatu hadits, tanggal kelahiran dan wafat, tempat lahir mereka dan sebagainya.[5] Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak akan meriwayatkan hadits yang kuterima dari sahabat dan tabi’in, sebelum aku mengetahui tanggal kelahiran, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku juga tidak akan meriwayatkan hadits mauquf [6] dari sahabat dan tabi’in, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.”
Kemudian pada usia 17 tahun beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam Al-Bikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya. Bersama ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Al-Bukhari pergi haji ke Mekkah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para ulama di sana, sementara keluarganya pulang.
Beliau pernah merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat kali, ke Hijaz bermuqim 6 tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli hadits yang lain sampai delapan kali. Dalam salah satu perjalanan kepada Adam bin Abu Ayas, ia kehabisan uang. Tanpa uang sepersenpun, dia hidup sementara dengan daun-daun tumbuhan liar. Dia seorang penembak jitu, dan suka latihan agar siap berjihad sewaktu-waktu.[7] Menurut pengakuannya, kitab hadits yang ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadits.[8]

B.     Kekuatan Hafalan Imam Al-Bukhari
Kekuatan hafalan Imam Al-Bukhari sudah terakui oleh para ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja. Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Hasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendikiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tidak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu. Bukhari meminta mereka membawa catatan mereka, kemudian dia membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal diluar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.[9]
Riwayat populer tentang kebesaran Al-Bukhari sebagai ulama hadits adalah ketika ia memasuki kota Baghdad. Di sana ia terlibat dalam suatu majlis ulama hadits. Terdapat 10 orang ulama yang masing-masing membacakan 10 hadits dengan sanad dan mantan yang di jungkir balikan. Beberapa orang dicoba untuk memberi komentar tentang hadis yang dibacakan tadi. Tidak seorang pun melaksanakan tugas dengan memuaskan. Akhirnya Al-Bukhari tampil memberi komentar satu persatu hadits. Hadits pertama terdapat keterbalikan sanad begini dan mantan begini, seharusnya begini. Untuk hadits kedua juga demikian. Demikian ia berkomentar hingga orang kesepuluh, sehingga genap kesepuluh, sehinnga genap seluruhnya seratus hadits. Tidak seorang ulama pun membantah atas komentar Al-Bukhari tersebut. Karenanya tidak heran kalau hadits riwayat Al-Bukhari dinilai paling berkualitas di banding dengan riwayat lain.[10] Yang paling mengagumkan, bukanlah ia mampu menjawab secara benar, tetapi, bagaimana dia mampu menyebutkan hadis yang sanad dan matannya tidak karuan seperti yang telah dibacakan sang penanya, padahal ia mendengar hanya sekali saja.
Di Samarkand, beliau pun mengahadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijal (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits dan sanad-sanadnya yang sudah campur aduk ini ke hadapan Imam Al-Bukhari. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu kemudian menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para ulama yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. (As-Siyar 12/411, Al-Bidayah 11/22)
Dua kejadian tersebut sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat Imam Al-Bukhari, sebab tanpa persiapan sedikit pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi, ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut.
Abu Ja’far pernah menanyakan kepada Abu Abdillah (Imam Al-Bukhari), “Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?”. “Tidak ada yang kabur pada (hafalan) ku seluruhnya”. (As-Siyar:12/403)
Al-Allamah Al-Aini Al-Hanafi berkata, “Imam Al-Bukhari adalah seorang yang hafizh, cerdas, cerdik dan cermat. Ia memiliki kemampuan menjelaskan dengan jeli kemampuan mengingatnya sudah masyhur dan disaksikan para ulama yang tsiqah.
Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata beliau:
لَا أَعْلَمَ شَيْئًا أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ
Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan).[11]
Dalam melakukan kritik terhadap hadits yang diterimanya, beliau tidak pernah memojokkan. Diantara kritik yang sering dipakai Imam Bukhari adalah: tarakuuhu (para ulama meninggalkan), as-saqith (hadits riwayatnya jatuh), fihi nadzar (padanya ada yang perlu diperhatikan), sakatuu anhu (para ulama lebih memilih diam terhadapnya) dan sebagainya. Beliau jarang sekali menggunakan istilah wadhdha’ (pembuat hadits maudhu’) atau kadzdzab (pembohong).[12] Oleh karena itu, pernyataan paling keras yang dapat dijumpai adalah munkar al-hadits (hadits mungkar). Perawi-perawi hadits yang mempunyai cacat/aib tidak pernah ia gunjingkan ataupun mencelanya di tengah umum. Tetapi kata yang dipergunakannya: tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk mengakuinya sebagai hadits shahih.
C.    Guru-guru Imam Al-Bukhari dan Tingkatannya
Dalam perjalanannya di berbagai Negara, Imam Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya. Beliau mengatakan: “Aku menulis hadits dari 1080 guru yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan.” Diantara para guru itu adalah Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, Maki bin Ibrahim Al-Bakhli, Muhammad bin Yusuf Al-Baykandi dan Ibnu Rawawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya sebanyak 289 guru.[13]
Guru-guru Al-Bukhari menurut Al-Hafizh terbagi menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1.      Pertama, orang yang menerima hadits dari tabi’in. Mereka yang termasuk dalam kelas ini antara lain: Muhammad bin Abdillah Al-Ansyari yang meperoleh hadits dari Humaid; Maki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi Ubaid; Abu Ashim An-Nabil dari Yazid bin Abi Ubaid; Ubaidilah bin Musa dari Ismail bin Abi Khalid; Abu Nu’aim dari Al-‘Amasy; Khallad bin Yahya dari Isa bin Thuhman; dan Ayyasy dan Isham bin Khalid yang meriwayatkan hadits dari Huraiz bin Utsman. Secara singkat, guru-guru mereka adalah tabi’in.
2.      Kedua, orang lain yang semasa dengan kelompok pertama, akan tetapi mereka tidak mendengar dari kelompok tabi’in yang tsiqah. Orang yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: Adam bin Abi Iyas, Abu Mashar Abdul A’la bin Mashar, Said bin Abi Maryam, Ayyub bin Sulaiman bin Bilal dan lain-lain.
3.      Ketiga, ini merupakan tingkatan paling tengah diantara sekian banyak guru-guru Al-Bukhari. Mereka yang termasuk ke dalam klasifikasi tingkatan ini tidak bertemu para tabi’in. Oleh karena itu, mereka hanya mendapatkan hadits dari kelompok tabi’at-tabi’in. Mereka yang termasuk dalam kategori ini antara lain: Sulaiman bin Harb, Qutaidah bin Said, Nu’aim bin Hammad, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ruhawaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Pada tingkatan ketiga ini Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari mereka.
4.      Keempat, mereka termasuk dalam tingkatan ini pada dasarnya sama dengan tingkat ketiga dalam mendapatkan hadits. Letak perbedaannya, kalau tingkat ketiga lebih dahulu mendengar dan mendapatkan hadits daripada tingkatan keempat ini. Orang yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain; Muhammad bin YahyaAdz-Dzuhuli, Abu Hatim Ar-Razi, Muhammad bin Abdirrahim Sha’iqah, Abd bin Humaid, Ahmad bin An-Nadhr dan ulama sekelasnya.
5.      Kelima, sekelompok orang yang haditsnya hanya dipakai pertimbangan dalam menentukan usia para perawi hadits maupun dalam jalur periwayatan hadits. Imam Al-Bukhari mengambil hadits dari kelompok ini karena adanya manfaat. Mereka yang termasuk dalam klasifikasi kelompok tingkat kelima ini antara lain; Abdullah bin Hammad, Al-Amali, Abdullah bin Al-Ash Al-Khawarizmi, Husain bin Muhammad Al-Qabbani dan yang sejenisnya. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari guru tingkatan kelima ini jumlahnya sangat sedikit.[14]
D.    Imam Al-Bukhari Guru Para Imam Hadits
Dengan warisan bakat dari ayahnya yang juga merupakan ahli hadits serta telah banyak menghafal hadits-hadits sejak kecil, pantaslah jika Imam Bukhari dijadikan guru oleh para imam hadits.
Pernah, orang-orang berilmu dari kota Basrah berjalan di belakang beliau untuk mendengarkan hadits dan akhirnya mereka bisa menghentikan beliau di satu jalan. Ribuan orang duduk di dekat beliau. Kebanyakan dari mereka menulis riwayat dari beliau. Waktu itu, beliau masih seorang remaja yang belum tumbuh jenggotnya. Beliau diminta untuk duduk di satu jalan dan memperdengarkan riwayat-riwayat hadits.
Kedalaman ilmunya dalam bidang hadits yang didukung oleh intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman tentang kandungan hadits dan penguasaan rijaalul hadits dan illah-illahnya membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang zaman. Kelebihan-kelebihan ini jelas menarik minat para penuntut ilmu untuk menghadiri majlis ilmunya.
Banyak nama-nama terkenal menghiasi daftar orang-orang yang berguru pada Imam Al-Bukhari. Diantara mereka adalah Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Abu Hatim, Imam Ibnu Abi Dunya, Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi, Imam Ibnu Khuzaimah.[15]
E.     Karya Imam Al-Bukhari
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ As-Shahih yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini, suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. seolah-olah Nabi berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah. Mimpi inilah antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab Al-Jami’ As-Shahih.[16] Beberapa kitab karya Al-Bukhari antara lain:
1.      Al-Jami’ As-Shahih
Karya ini disebut dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah SAW sunnatihi wa Ayyamihi. Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashr min Umar Rasulullah wa Sunnatihi wa Ayyamihi atau biasa disebt “Shahih Al-Bukhari”. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun.[17]
Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya: “saya tidak memasukkan dalam kitabku ini, kecuali shahih semuanya”. Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu’ (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Banyak ulama yang membuat syarah dari Shahih Bukhari tersebut, antara lain[18]: Ibnu Hajar, Al-‘Ayni Al-Hanafi, Qasthallani, serta Jalal Al-Din As-Suyuthi.
2.      At-Tarikh Al-Kabir
Karya ini ditulis oleh beliau ketika usianya baru mencapai 18 tahun. Lebih tepatnya ketika dia berada di Masjid Nabawi di Madinah pada saat rembulan bersinar terang. Oleh beliau, kitab ini dihadiahkan kepada Abdullah bin Thahir yang menjabat sebagai Amir di Khurasan. Ketika memberikan kitab ini beliau berkata kepada Amir, “Ketahuilah, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang menakjubkan.”
3.      Al-Adab Al-Mufradullah Al-Jailani
Kitab ini berisi akhlak dan adab Rasulullah SAW. kitab ini telah tercetak bersama syarahnya. Orang yang memberikan syarah kitab ini adalah Fadlullah Al-Jailani dengan nama Fadlullah Ash Shamad fi Taudhih Al Adab Al-Mufrad, cetakan Mathba’ah Aas-Salafiyah.
4.      Adh-Duafa’
Terdapat dua kitab dengan nama tersebut yaitu Shogir (kecil) dan Kabir (besar). Mengandung sejumlah perawi-perawi hadits yang lemah.
5.      Al-Qiraat Khalfa Al-Imam
Dikenali sebagai juz Al-Qiraat, mengandung masalah bacaan makmum dibelakang imam dan menyokong hujah tenteng diwajibkan membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam apa jua keadaan, sekalipun orang yang mendirikan sembahyang itu sebagai imam, makmum atau bersendirian.[19]


F.     Imam Al-Bukhari Wafat
Usai mengisi hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), tiba saatnya beliau kembali menghadap sang Ilahi, beliau sempat mengalami sakit sebelum wafat. Beliau wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum wafat beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu bertahan selama beberapa hari. Jenazahnya dimakamkan setelah sholat zhuhur di hari idul fitri. Dia telah menempuh perjalanan hidup yang panjangdihiasi amal mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.[20]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Imam Al-Bukhari adalah seorang ahli hadits yang lahir pada hari Jum’at 13 syawal 194 H = 21 Juli 810 M di kota Bukhara. Beliau telah mempelajari dan menghafalkan banyak hadits sejak kecil. Banyak guru yang telah menjadi guru beliau yang terbagi pada lima tingkatan. Selain itu karena kepandaiannya, pantaslah jika beliau dijadikan seorang guru bagi para imam besar ilmu hadits seperti Imam Muslim dan Imam Tirmidzi. Beliau juga membuat karya-karya besar seperti kitab Al-Jami’ As-Shahih, Al-Adab Al-Mufradullah Al-Jailani, dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
B.     Saran
Setelah mengetahui bagaimana seorang Al-Bukhari harusnya kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Diantaranya walaupun usia masih muda beliau telah bersemangat mencari ilmu. Selain itu beliau juga telah menghafal banyak hadits, baginya untuk dapat menghafal hanyalah dibutuhkan keinginan yang kuat untuk menghafal.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Utsman. 1993. Kutubus Sittah. Surabaya: Pustaka Progresif.
Masturi Ilham. 2008. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Meth Kieraha. 1993. Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta: Lentera.
Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada. Hal 239.
Tim Pustaka Firdaus. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zainal Abidin Ahmad. 1975. Imam Bukhari Pemuncak Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Asami man rawa ‘anhum Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu ‘Adi al-Jurjani, tahqiq Badr bin Muhammad al-‘Ammasy, hlm 60.
Imam Al-Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah. Ustadz Abu Minhal, L.c.
As-Siyar, 12/406
tmf56QVg1337057357.pdf.
http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam _menulis_kitab_hadits.
http://100tokohislam.blogspot.com


[1] http://100tokohislam.blogspot.com
[2] Zainal Abidin Ahmad. 1975. Imam Bukhari Pemuncak Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
[3] Asami man rawa ‘anhum Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu ‘Adi al-Jurjani, tahqiq Badr bin Muhammad al-‘Ammasy, hlm 60.
[4] Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[5] Meth Kieraha. 1993. Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta: Lentera.
[6] Hadits yang disandarkan kepada sahabat, dengan kata lain perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat.
[7]
[8] Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada.
[9] http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm.
[10] Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[11] As-Siyar, 12/406
[12] Masturi Ilham. 2008. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[13] Ahmad Utsman. 1993. Kutubus Sittah. Surabaya: Pustaka Progresif.
[14] tmf56QVg1337057357.pdf.
[15] Imam Al-Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah. Ustadz Abu Minhal, L.c.
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam _menulis_kitab_hadits.
[17] Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada. Hal 239.
[18] Tim Pustaka Firdaus. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[19] http://imam-albukhari.blogspot.co.id/2012/06/karangan-karangan-imam-al-bukhari.html?m=1.13.14.
[20] tmf56QVg1337057357.pdf.