Minggu, 24 April 2016

biografi imam bukhari



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Namanya sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits. Sebagian ulama menyebutnya dengan julukan Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin kaum mu’min dalam hal ilmu hadits).
            Kemampuan dan kecerdasan Bukhari mendapat pujian dari ulama, rekan, maupun generasi sesudahnya. Imam Abu Hatim Al-Razi misalnya, berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi darinya.” Demikian juga dengan Imam Muslim pernah mencium diantara kedua mata Imam Bukhari seraya berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah Imam ahli hadits dan dokter penyakit hadits.”[1]
            Demikian besar jasa dan pengaruh Imam Bukhari dalam bidang keagamaan, khususnya dalam persoalan hadits. Maka pada makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan Imam Bukhari sang Amirul Mukminin fil Hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi singkat seorang Imam Al-Bukhari?
2.      Bagaimana kekuatan Imam Al-Bukhari dalam menghafal?
3.      Siapa saja guru Imam Al-Bukhari?
4.      Siapa saja murid Imam Al-Bukhari?
5.      Apa saja karya Imam Al-Bukhari?
6.      Kapan wafatnya Imam Al-Bukhari?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi singkat tentan Imam Al-Bukhari.
2.      Mengetahui bagaimana kekuatan hafalan Imam Al-Bukhari.
3.      Mengetahui siapa saja guru Imam Al-Bukhari.
4.      Mengtetahui siapa saja murid Imam Al-Bukhari.
5.      Mengetahui apa saja karya Imam Al-Bukhari.
6.      Mengetahui wafatnya Imam Al-Bukhari.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Imam Al-Bukhari
Nama lengkap tokoh ini Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizyah Al-Jufri Al-Bukhari. Ia lahir pada hari Jum’at 13 syawal 194 H = 21 Juli 810 M[2] di kota Bukhara (suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok). Untuk mengetahui bentuk fisik Al-Bukhari, Imam Ibnu ‘Adi mengatakan, “Aku pernah mendengar Hasan bin Husain Al-Bazzaz, aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek”.[3] Ayahnya seorang alim di bidang hadits, mempelajari dari sejumlah ulama terkenal, seperti Imam Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid dan Ibn al-Mubarak.[4] Ketika Al-Bukhari masih kecil ayahnya meninggal. Nasibnya masih beruntung karena ayahnya tergolong orang yang berada, sehingga hidupnya tidak terlalu sengsara, karena mewarisi kekayaan ayahnya. Tampaknya spesialisasi ayahnya inlah yang mengilhami Al-Bukhari untuk menekuni hadits. Al-Bukhari tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan ibu.
Kakeknya yang nomor 3 diatasnya masih memakai nama Persi, yaitu Bardizbeh, dan belum memeluk Islam, masih beragama Zoroaster. Barulah kakeknya nomor 2 memasuki agama Islam dangan nama “Mughirah. Meskipun masa keislaman bagi keluarganya masih baru sekali, barulah dalam 3 ali keturunan, tetapi kekuatannya beragama cukup terkenal, dan sudah menduduki tempat yang terhormat di dalam keislaman. Ayahnya bernama Ismail, termasyhur seorang ulama, yang sangat shaleh dan bersih kehidupannya.
Pada masa kanak-kanak, Al-Bukhari sempat mengalami kebutaan. Suatu malam, sang ibu bermimpi melihat Ibrahim al-Khalil alaihissalam dan berkata kepada ibunya, “Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan kepada anakmukarena engkau banyak menangis (banyak berdo’a)”. Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal.
Imam Al-Bukhari memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau telah menghafalkan Al-Qur’an sejak kecil juga. Inilah salah satu faktor Allah mengilhamkan pada Muhammad bin Ismail kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi SAW. Imam Al-Bukhari menceritakan, Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada Ad-Dakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits dihadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim. Maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin Adi dari Ibrahim.”. beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “engkau benar”.
Imam Al-Bukhari juga pernah menceritakan, Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang Syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”.
Bukhari mulai belajar hadits saat masih muda, bahkan masih kurang 10 tahun. Pada usia 16 tahun, dia telah menghafal banyak kitab ulama terkenal, seperti Ibn al-Mubarak, Waki’, dan sebagainya. Ia tidak berhenti pada menghafal hadits dan kitab para ulama awal, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang ambil dibagian dalam periwayatan suatu hadits, tanggal kelahiran dan wafat, tempat lahir mereka dan sebagainya.[5] Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak akan meriwayatkan hadits yang kuterima dari sahabat dan tabi’in, sebelum aku mengetahui tanggal kelahiran, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku juga tidak akan meriwayatkan hadits mauquf [6] dari sahabat dan tabi’in, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.”
Kemudian pada usia 17 tahun beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam Al-Bikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya. Bersama ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Al-Bukhari pergi haji ke Mekkah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para ulama di sana, sementara keluarganya pulang.
Beliau pernah merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat kali, ke Hijaz bermuqim 6 tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli hadits yang lain sampai delapan kali. Dalam salah satu perjalanan kepada Adam bin Abu Ayas, ia kehabisan uang. Tanpa uang sepersenpun, dia hidup sementara dengan daun-daun tumbuhan liar. Dia seorang penembak jitu, dan suka latihan agar siap berjihad sewaktu-waktu.[7] Menurut pengakuannya, kitab hadits yang ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadits.[8]

B.     Kekuatan Hafalan Imam Al-Bukhari
Kekuatan hafalan Imam Al-Bukhari sudah terakui oleh para ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja. Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Hasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendikiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tidak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu. Bukhari meminta mereka membawa catatan mereka, kemudian dia membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal diluar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.[9]
Riwayat populer tentang kebesaran Al-Bukhari sebagai ulama hadits adalah ketika ia memasuki kota Baghdad. Di sana ia terlibat dalam suatu majlis ulama hadits. Terdapat 10 orang ulama yang masing-masing membacakan 10 hadits dengan sanad dan mantan yang di jungkir balikan. Beberapa orang dicoba untuk memberi komentar tentang hadis yang dibacakan tadi. Tidak seorang pun melaksanakan tugas dengan memuaskan. Akhirnya Al-Bukhari tampil memberi komentar satu persatu hadits. Hadits pertama terdapat keterbalikan sanad begini dan mantan begini, seharusnya begini. Untuk hadits kedua juga demikian. Demikian ia berkomentar hingga orang kesepuluh, sehingga genap kesepuluh, sehinnga genap seluruhnya seratus hadits. Tidak seorang ulama pun membantah atas komentar Al-Bukhari tersebut. Karenanya tidak heran kalau hadits riwayat Al-Bukhari dinilai paling berkualitas di banding dengan riwayat lain.[10] Yang paling mengagumkan, bukanlah ia mampu menjawab secara benar, tetapi, bagaimana dia mampu menyebutkan hadis yang sanad dan matannya tidak karuan seperti yang telah dibacakan sang penanya, padahal ia mendengar hanya sekali saja.
Di Samarkand, beliau pun mengahadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijal (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits dan sanad-sanadnya yang sudah campur aduk ini ke hadapan Imam Al-Bukhari. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu kemudian menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para ulama yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. (As-Siyar 12/411, Al-Bidayah 11/22)
Dua kejadian tersebut sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat Imam Al-Bukhari, sebab tanpa persiapan sedikit pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi, ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut.
Abu Ja’far pernah menanyakan kepada Abu Abdillah (Imam Al-Bukhari), “Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?”. “Tidak ada yang kabur pada (hafalan) ku seluruhnya”. (As-Siyar:12/403)
Al-Allamah Al-Aini Al-Hanafi berkata, “Imam Al-Bukhari adalah seorang yang hafizh, cerdas, cerdik dan cermat. Ia memiliki kemampuan menjelaskan dengan jeli kemampuan mengingatnya sudah masyhur dan disaksikan para ulama yang tsiqah.
Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata beliau:
لَا أَعْلَمَ شَيْئًا أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ
Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan).[11]
Dalam melakukan kritik terhadap hadits yang diterimanya, beliau tidak pernah memojokkan. Diantara kritik yang sering dipakai Imam Bukhari adalah: tarakuuhu (para ulama meninggalkan), as-saqith (hadits riwayatnya jatuh), fihi nadzar (padanya ada yang perlu diperhatikan), sakatuu anhu (para ulama lebih memilih diam terhadapnya) dan sebagainya. Beliau jarang sekali menggunakan istilah wadhdha’ (pembuat hadits maudhu’) atau kadzdzab (pembohong).[12] Oleh karena itu, pernyataan paling keras yang dapat dijumpai adalah munkar al-hadits (hadits mungkar). Perawi-perawi hadits yang mempunyai cacat/aib tidak pernah ia gunjingkan ataupun mencelanya di tengah umum. Tetapi kata yang dipergunakannya: tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk mengakuinya sebagai hadits shahih.
C.    Guru-guru Imam Al-Bukhari dan Tingkatannya
Dalam perjalanannya di berbagai Negara, Imam Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya. Beliau mengatakan: “Aku menulis hadits dari 1080 guru yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan.” Diantara para guru itu adalah Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, Maki bin Ibrahim Al-Bakhli, Muhammad bin Yusuf Al-Baykandi dan Ibnu Rawawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya sebanyak 289 guru.[13]
Guru-guru Al-Bukhari menurut Al-Hafizh terbagi menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1.      Pertama, orang yang menerima hadits dari tabi’in. Mereka yang termasuk dalam kelas ini antara lain: Muhammad bin Abdillah Al-Ansyari yang meperoleh hadits dari Humaid; Maki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi Ubaid; Abu Ashim An-Nabil dari Yazid bin Abi Ubaid; Ubaidilah bin Musa dari Ismail bin Abi Khalid; Abu Nu’aim dari Al-‘Amasy; Khallad bin Yahya dari Isa bin Thuhman; dan Ayyasy dan Isham bin Khalid yang meriwayatkan hadits dari Huraiz bin Utsman. Secara singkat, guru-guru mereka adalah tabi’in.
2.      Kedua, orang lain yang semasa dengan kelompok pertama, akan tetapi mereka tidak mendengar dari kelompok tabi’in yang tsiqah. Orang yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: Adam bin Abi Iyas, Abu Mashar Abdul A’la bin Mashar, Said bin Abi Maryam, Ayyub bin Sulaiman bin Bilal dan lain-lain.
3.      Ketiga, ini merupakan tingkatan paling tengah diantara sekian banyak guru-guru Al-Bukhari. Mereka yang termasuk ke dalam klasifikasi tingkatan ini tidak bertemu para tabi’in. Oleh karena itu, mereka hanya mendapatkan hadits dari kelompok tabi’at-tabi’in. Mereka yang termasuk dalam kategori ini antara lain: Sulaiman bin Harb, Qutaidah bin Said, Nu’aim bin Hammad, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ruhawaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Pada tingkatan ketiga ini Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari mereka.
4.      Keempat, mereka termasuk dalam tingkatan ini pada dasarnya sama dengan tingkat ketiga dalam mendapatkan hadits. Letak perbedaannya, kalau tingkat ketiga lebih dahulu mendengar dan mendapatkan hadits daripada tingkatan keempat ini. Orang yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain; Muhammad bin YahyaAdz-Dzuhuli, Abu Hatim Ar-Razi, Muhammad bin Abdirrahim Sha’iqah, Abd bin Humaid, Ahmad bin An-Nadhr dan ulama sekelasnya.
5.      Kelima, sekelompok orang yang haditsnya hanya dipakai pertimbangan dalam menentukan usia para perawi hadits maupun dalam jalur periwayatan hadits. Imam Al-Bukhari mengambil hadits dari kelompok ini karena adanya manfaat. Mereka yang termasuk dalam klasifikasi kelompok tingkat kelima ini antara lain; Abdullah bin Hammad, Al-Amali, Abdullah bin Al-Ash Al-Khawarizmi, Husain bin Muhammad Al-Qabbani dan yang sejenisnya. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari guru tingkatan kelima ini jumlahnya sangat sedikit.[14]
D.    Imam Al-Bukhari Guru Para Imam Hadits
Dengan warisan bakat dari ayahnya yang juga merupakan ahli hadits serta telah banyak menghafal hadits-hadits sejak kecil, pantaslah jika Imam Bukhari dijadikan guru oleh para imam hadits.
Pernah, orang-orang berilmu dari kota Basrah berjalan di belakang beliau untuk mendengarkan hadits dan akhirnya mereka bisa menghentikan beliau di satu jalan. Ribuan orang duduk di dekat beliau. Kebanyakan dari mereka menulis riwayat dari beliau. Waktu itu, beliau masih seorang remaja yang belum tumbuh jenggotnya. Beliau diminta untuk duduk di satu jalan dan memperdengarkan riwayat-riwayat hadits.
Kedalaman ilmunya dalam bidang hadits yang didukung oleh intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman tentang kandungan hadits dan penguasaan rijaalul hadits dan illah-illahnya membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang zaman. Kelebihan-kelebihan ini jelas menarik minat para penuntut ilmu untuk menghadiri majlis ilmunya.
Banyak nama-nama terkenal menghiasi daftar orang-orang yang berguru pada Imam Al-Bukhari. Diantara mereka adalah Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Abu Hatim, Imam Ibnu Abi Dunya, Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi, Imam Ibnu Khuzaimah.[15]
E.     Karya Imam Al-Bukhari
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ As-Shahih yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini, suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. seolah-olah Nabi berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah. Mimpi inilah antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab Al-Jami’ As-Shahih.[16] Beberapa kitab karya Al-Bukhari antara lain:
1.      Al-Jami’ As-Shahih
Karya ini disebut dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah SAW sunnatihi wa Ayyamihi. Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashr min Umar Rasulullah wa Sunnatihi wa Ayyamihi atau biasa disebt “Shahih Al-Bukhari”. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun.[17]
Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya: “saya tidak memasukkan dalam kitabku ini, kecuali shahih semuanya”. Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu’ (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Banyak ulama yang membuat syarah dari Shahih Bukhari tersebut, antara lain[18]: Ibnu Hajar, Al-‘Ayni Al-Hanafi, Qasthallani, serta Jalal Al-Din As-Suyuthi.
2.      At-Tarikh Al-Kabir
Karya ini ditulis oleh beliau ketika usianya baru mencapai 18 tahun. Lebih tepatnya ketika dia berada di Masjid Nabawi di Madinah pada saat rembulan bersinar terang. Oleh beliau, kitab ini dihadiahkan kepada Abdullah bin Thahir yang menjabat sebagai Amir di Khurasan. Ketika memberikan kitab ini beliau berkata kepada Amir, “Ketahuilah, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang menakjubkan.”
3.      Al-Adab Al-Mufradullah Al-Jailani
Kitab ini berisi akhlak dan adab Rasulullah SAW. kitab ini telah tercetak bersama syarahnya. Orang yang memberikan syarah kitab ini adalah Fadlullah Al-Jailani dengan nama Fadlullah Ash Shamad fi Taudhih Al Adab Al-Mufrad, cetakan Mathba’ah Aas-Salafiyah.
4.      Adh-Duafa’
Terdapat dua kitab dengan nama tersebut yaitu Shogir (kecil) dan Kabir (besar). Mengandung sejumlah perawi-perawi hadits yang lemah.
5.      Al-Qiraat Khalfa Al-Imam
Dikenali sebagai juz Al-Qiraat, mengandung masalah bacaan makmum dibelakang imam dan menyokong hujah tenteng diwajibkan membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam apa jua keadaan, sekalipun orang yang mendirikan sembahyang itu sebagai imam, makmum atau bersendirian.[19]


F.     Imam Al-Bukhari Wafat
Usai mengisi hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), tiba saatnya beliau kembali menghadap sang Ilahi, beliau sempat mengalami sakit sebelum wafat. Beliau wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum wafat beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu bertahan selama beberapa hari. Jenazahnya dimakamkan setelah sholat zhuhur di hari idul fitri. Dia telah menempuh perjalanan hidup yang panjangdihiasi amal mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.[20]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Imam Al-Bukhari adalah seorang ahli hadits yang lahir pada hari Jum’at 13 syawal 194 H = 21 Juli 810 M di kota Bukhara. Beliau telah mempelajari dan menghafalkan banyak hadits sejak kecil. Banyak guru yang telah menjadi guru beliau yang terbagi pada lima tingkatan. Selain itu karena kepandaiannya, pantaslah jika beliau dijadikan seorang guru bagi para imam besar ilmu hadits seperti Imam Muslim dan Imam Tirmidzi. Beliau juga membuat karya-karya besar seperti kitab Al-Jami’ As-Shahih, Al-Adab Al-Mufradullah Al-Jailani, dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
B.     Saran
Setelah mengetahui bagaimana seorang Al-Bukhari harusnya kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Diantaranya walaupun usia masih muda beliau telah bersemangat mencari ilmu. Selain itu beliau juga telah menghafal banyak hadits, baginya untuk dapat menghafal hanyalah dibutuhkan keinginan yang kuat untuk menghafal.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Utsman. 1993. Kutubus Sittah. Surabaya: Pustaka Progresif.
Masturi Ilham. 2008. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Meth Kieraha. 1993. Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta: Lentera.
Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada. Hal 239.
Tim Pustaka Firdaus. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zainal Abidin Ahmad. 1975. Imam Bukhari Pemuncak Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Asami man rawa ‘anhum Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu ‘Adi al-Jurjani, tahqiq Badr bin Muhammad al-‘Ammasy, hlm 60.
Imam Al-Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah. Ustadz Abu Minhal, L.c.
As-Siyar, 12/406
tmf56QVg1337057357.pdf.
http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam _menulis_kitab_hadits.
http://100tokohislam.blogspot.com


[1] http://100tokohislam.blogspot.com
[2] Zainal Abidin Ahmad. 1975. Imam Bukhari Pemuncak Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
[3] Asami man rawa ‘anhum Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu ‘Adi al-Jurjani, tahqiq Badr bin Muhammad al-‘Ammasy, hlm 60.
[4] Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[5] Meth Kieraha. 1993. Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta: Lentera.
[6] Hadits yang disandarkan kepada sahabat, dengan kata lain perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat.
[7]
[8] Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada.
[9] http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm.
[10] Muh. Zuhri. 1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[11] As-Siyar, 12/406
[12] Masturi Ilham. 2008. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[13] Ahmad Utsman. 1993. Kutubus Sittah. Surabaya: Pustaka Progresif.
[14] tmf56QVg1337057357.pdf.
[15] Imam Al-Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah. Ustadz Abu Minhal, L.c.
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam _menulis_kitab_hadits.
[17] Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada. Hal 239.
[18] Tim Pustaka Firdaus. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[19] http://imam-albukhari.blogspot.co.id/2012/06/karangan-karangan-imam-al-bukhari.html?m=1.13.14.
[20] tmf56QVg1337057357.pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar