IMAM MUSLIM
(204 H-820 M)
A.
Biografi Imam
Muslim
Nama lengkap imam
Muslim adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al-Qusyairi al-Naisaburi. Beliau di nisbatkan kepada Naisaburi karena
dilahirkan di Nisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian timur-laut. Beliau juga
dinisbatkan kepada nenek moyangnya atau kabilahnya yaitu Qusyair bin Ka’ab bin
Rabi’ah bin Sa’sa’ah suatu keluarga bangsawan besar. Ia dilahirkan pada tahun
204 H-820 M.[1]
Naisabur
pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada
masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan,
kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya
ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Imam Muslim
belajar hadist mulai usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H-833 M.[2] Kecenderungan
Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi
kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia
10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli
hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani
mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Seperti
orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke
berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi
Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
Dalam
berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu
dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru
kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk
menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk
belajar hadits padanya.
Sejak itulah
beliau sangat serius dalam mempelajari dan mencari hadist. Pada masanya beliau
terkenal sebagai ulama’ yang gemar berpergian melawat ke berbagai daerah atau
negara untuk mencari hadist. Beliau pernah pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir
dan tempat-tempat lainnya.
Beliau juga pernah ke kota
Khurasan untuk belajar hadist kepada Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaih dan
lain-lain. Ke Roy untuk belajar hadisyt kepada Nabi Muhammad bin Mahran, Abu
Gasan dan lain-lain, ke Irak untuk belajar hadist kepada Ahmad bin Hambal,
Abdullah bin Maslamah dan lain-lain, ke hijjaz untuk belajar hadist kepada
sa’id bin Mansyur dan Abu Mas’ab dan pernah ke Mesir untuk belajar Hadist
kepada ‘Amar bin Sawad, Harmalah bin Yahya dan kepada para ulama’ ahli hadist
lainnya. Ia pun pernah berkali-kali pernah mengunjungi kota Bagdad dan berguru
kepada sejumlah ulama’ hadist senior. Ketika Imam Bukhori datang ke kota ini
pun, ia aktif sekali menghadiri majlisnya dan menimbah banyak-banyak hadist dari
al-Bukhari serta mengikuti jejaknya.
Selain yang telah
disebutkan diatas, masih sangat banyak guru beliau misalnya Usman Dan Abu
Bakar, Keduanya Adalah Putra Abu Syaibah, Syaiban Bin Farwakh, Abu Kamil
Al-Juri Zuhair Bin Harab, ‘Amir Al-Naqib, Harun Bin Sa’id Al-‘Ayli, Qutaibah
Bin Sa’id, Qatabah Bin Sa’id, Al-Qa’nabi, Ismail Bin Uwais, Muhammad Bin
Al-Musannah, Muhammad Bin Yassar, Muhammad Bin Rumhi dan lain-lain.
Diantara sekian
banyak muridnya, yang menonjol adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang
ahli fiqih dan zahid, yang merupakan periwayat utama dalam Sahih Muslim.
Imam Muslim adalah salah seorang ahli muhaddis, hafiz yang
terpercaya. Beliau banyak menerima pujian dan pangakuan dari para ulama’ hadist
maupun ulam’ lainnya . al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sannat
lengkap, dari Ahamad bin Salamah, katanya : "Saya melihat Abu Zur’ah daan
Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim al-Hajjaj di
bidang pengetahuan hadist Shahih atas guru-guru mereka pada masanya. [3]
Tidak
seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di
kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada
ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam
Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya
untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.
Berkat
kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang
dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru
besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits
tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya,
berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal
Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa
pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam
Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk
menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Imam
Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu
mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat
tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat
at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai
istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada
kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada
kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim
sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah
Imam Bukhari.
Selain
itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah.
Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan
reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min
Naisabur (orang baik dari Naisabur).
Maslamah
bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan
salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi
juga memberi sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan,
ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Seperti
halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih
Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim.
Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim
yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak
memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan
tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
Sebenarnya
kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus
hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya
hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan
membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan
hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya
meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits
Muslim terasa sangat populis.
Sebenarnya
para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan
Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul,
sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih
Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika
penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain,
karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara
struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan
sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan
“kemungkinan” bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari
mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi
hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat
berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi
derajat kedua dibanding Bukhari.
Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak
dibanding al-Bukhari.
Sementara
pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang
dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan
redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti
yang dilakukan Bukhari lakukan.
Imam Muslim adalah
seorang sudagar yang beruntung ramah dan memilii reputasi tinggi. Al-Zahabi
menjulukinya sebagai Muhsin Naisabur. Beliau tidak fanatik dngan pendapatnya
sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerimah pendapat atau Kebenaran
Dari Orang Lain
Beliau Telah
Berhasil Menyusun Banyak Karya, Diantaranya Kitab : (1) Al-Jami’ Al-Sahih, (2)
Al-Musnad Al-Kabir ‘Ala Al-Rijal, (3) Al-Jabir Al-Khabir, (4) Al-Asma’ Wa
Al-Kuna, (5) Al-‘Llal, (6) Awham Al-Muhaddisin, (7) At-Tamyin, (8) Man Laisa
Lahu Illa Rawin Wahid, (9) Al-Tabaqat Al-Tabi’in, (10) Al-Mukhadramin, (11)
Awlad Al-Sahabah, (12) Intifa’ Bin Uhud (Julud) Al-Siba’, (13) Al-Aqran, (14)
Su’alatihi Ahmad Bin Hanbal, (15) Al-Afrad Wa Al-Wihdan, (16) Masyaikh
Al-Sauri, (17) Masyaikh Syu’bah, (18) Masyaikh Malik, (19) Al-Tabaqat Dan (20)
Afrad Al-Syamiyin, (21) Al-Wuhdan, (22) Al-Sahih Al-Musnad, (23) Hadist ‘Amir
Bin Syu’aib, (24) Rijal ‘Urwah, Dan (25) Al-Tarikh.[4]
Menurut laporan
Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, Imam Muslim telah menyusuntiga kitab musnad,
yaitu:
1.
Musnad yang beliau bacakan kepada
masyarakat adalah sahih.
2. Musnad
yang memuat hadist-hadist, meskipun dari periwayat yaang lemah.
3. Musnad
yang memuat hadist-hadist, meskipun sebagian hadist itu berasal dari periwayat
yang lemah.
B.
SETTING SOSIAL-POLITIK
Imam Muslim
hidup pada masa daulah abbasiyah yang pusat kekuasaanya di kota Baghdad. Beliau
hidup pada masa Abbasiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232
H-847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan,
namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, bahkan samapai
abad ke-4 hijriyah daulah islamiyah mencapai zaaman keemasan dalam bidang ilmu
pengetahuan, tidak terkecuali dalam bidang hadist. Keadaan itu antara lain
karena negara-negara lain bagian dari Kerajaan Islam Raya berlomba-lomba dalam
memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama’ dan para
pujangga.[5]
Pada masa ini secara
politik terjadi rebutan pengaruh keturunan Arab dan keturunan Persia, keturunan
Persia semakin eksis dan berpengaruh, sementara pengaruh dan keterlibatan
keturunan arab semakin terpinggirkan. Keadaan inilah yang memicu ketegangan dan
perpecahan umat Islam.
Dalam pada itu, gerakan-gerakan atau
aliran-aliran agama banyak bermunculan yang sering kali dijadikan sebagai alat
untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, misalnya gerakan al-Rawandiyah,
al-Muqanna’iyah, al-Khurramiyah dan al-Zanaqiyah. Demikian juga timbul
gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa
sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisis yaitu
Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Dan Ahl Al-Sunnah.
Pada periode ini,
bahkan sejak abad ke-2 hijriyah, telah lahir pada mujtahid dibidang ilmu fiqih
dan ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan islam pun sangat pesat diantara para
mujtahid, hubungan mereka sesungguhnya tidak ada masalah. Namun dikalangan para
murid dan pengikutnya umumnya mereka sangat panatik dan bersikap taqlid,
sehingga sering kali terjadi konflik diantara mereka yang terkadang melibatkan
para ulama’nya.
Dalam abad ketiga
ini bentrokan pendapat telah makin meruncing, baik antar golongan, madzb fiqih,
maupun antaar maadzab ilmu kalam. Paraa ulaama’ hadist pada masa ini menghadapi
golongan madzab fiqih yang fanatik, dan madzab ilmu kalam, kusussnya kaum
mu’tazilah, yang sangat memusuhi ulama’ hadist. Pertentangan pendapat antara
ulama’ ilmu kalam dan ulam’ hadist sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad
ke-2 hijriyah. Tetapi karena pada masa-masa itu penguasa belum memberi angin
kepada kaum mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada pada
tingkat ketengangan-ketengangan antar golongan. Dan ketika pemerintah, pada
awal abad ke-3 hijriyah di pegang oleh Khalifah al-Ma’mun (w.218 H-833 M) yang
pendapatnya sama dengan kaum mu’tazilah, khususnya tentang kemakhluqkan
al-qur’an, maka ulama’ hadist menghadapi ujian yang lebih berat lagi.
Keadaan yang
sangat tidak menguntungkan bagi ulama’ hadist ini tetap berlanjut pada masa
khalifah al-Mu’tasim (w.227 H-842M) dan al-wasiq (w.232H-846M). Barulah pada
waktu khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H-846 M), ulama’ hadist
mulai mendapat hadist segar yang menyenangkan, sebab khlifah ini memiliki
kepedulian kepada al-Sunnah.
Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali
terhadap perkembangan hadist. Pada masa ini hadist-hadist nabi semakin tersebar
luas ke berbagai wilayah. Sementara itu, pemalsuan hadist dengan motifasi yang
berbeda beda pun kian meraja lela. Dalam suasana seperti ini, bangkitlah para
ulama’ hadist, melawat mencari hadist, menyeleksi dan menghimpun atau
mengodifikasikannya. Imam muslim pun menyusun kitaab sahihnya.
Bagi imam Muslim
sekurang-kurangnya ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi dan memotivasi
penyusun kitabnya tersebut. Kedua alasan itu adalah (1) karena pada masanya
masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadist yang memuat hadist-hadist
shohih dengan kandungan yang relatif komprehensif dan sistematis, dan (2)
karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu berusaha membuat dan
menyebarkan sejumlah cerita (hadist) palsu, yang mencapuradukkan antara
hadist-hadist yang sahih dan yang tidak.
Jadi jika
memperhatika preodisasi sejarah dan perkembangan hadist, dapat dinyatakan bahwa
kitab Sahih Muslim muncul pada periode ke-5(abad ke-3 H), yaitu masa pemurnian,
penyehatan dan penyempurnaan.pada periode ini, kegiatan ulama’ hadist antara
lain mengadakan lawatan ke daerah daerah yang jauh, mengadakan klasifikasi
hadist-hadist yang marfu’ (yang disandarkan pada nabi) yang maauquf (yang
disandarkan pada sahabat) dan yang maqtu’ (yang disandarkan pada tabi’in),
serta membuat klasifikasi kualitas hadist menjadi sahih dan daif. Selain itu
mereka pun menghimpun kritik-kritik yang dilontarkan oleh ulama’ ilmu kalam dan
lain-lain, baik yang di tunjukkan kepada para periwayat yakni pada sanadnya
maupun pada matan hadistnya. Mereka pun menyusun kitab-kitab koleksi hadist
secara sistematis.[6]
C. Akhir Hayat Imam Muslim
Setelah
mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan
di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261
H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang
sangat bermanfaat
D. Para Guru Imam Muslim
Imam
Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman
bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri,
Zuhair bin Harab, ’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar,
Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
E. Murid yang meriwayatkan Haditsnya
Banyak
para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat
ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin
Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah
al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli,
Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan
al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim.
Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.
F. Pujian para Ulama Terhadap Imam Muslim
Apabila Imam
Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat–ilat
(cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam,
maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan
dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah
satu dari muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata:
“Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti
jalannya.” Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang
pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab,
serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari
ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad
bin Salamah, katanya “Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu
mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata
kepada Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan
engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: “Adakah
orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “Muslim adalah
penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.” Abu Quraisy berkata:
“Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang. Di
antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy.
Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
[1] Berbagai
referensi lainnya menyatakan beliau lahir 206 H
[2] Muhammad
Muhammad Abu syuhbah (selanjutnya ditulis
: Abu Syuhbah),Fi Rihab al Sunnah
al-Kutub al-Sihah al-Sittah, (kairoh: majma’ al buhus al-Islamiyyah,
1389 H-1969 M), 80
[3] DR. M.
ABDURRAHMAN, MA, studi kitab hadist (yogyakarta:TERAS,2003),57.
[4] Ibid.,
84, Al-Husaini Abd al-Majid Hasyim, Usul al-Hadist al-Nabawi: ‘Ulumuh wa
Maqayisuh (kairoh: Dar al-Syuruq, 1406 H-1986 M), 210 dan Muhammad Mustafa
Azami, studies....... 95
[5]
A.Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 216.
[6] M.Suhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadist (Bandung: Angkasa, 1991), 111-118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar