Minggu, 24 April 2016

Biografi Imam Muslim



IMAM MUSLIM
(204 H-820 M)
A.     Biografi Imam Muslim
            Nama lengkap imam Muslim adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Beliau di nisbatkan kepada Naisaburi karena dilahirkan di Nisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian timur-laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya atau kabilahnya yaitu Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin Sa’sa’ah suatu keluarga bangsawan besar. Ia dilahirkan pada tahun 204 H-820 M.[1]
                Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
            Imam Muslim belajar hadist mulai usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H-833 M.[2] Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
            Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
            Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.

            Sejak itulah beliau sangat serius dalam mempelajari dan mencari hadist. Pada masanya beliau terkenal sebagai ulama’ yang gemar berpergian melawat ke berbagai daerah atau negara untuk mencari hadist. Beliau pernah pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan tempat-tempat lainnya.
             Beliau  juga pernah ke kota Khurasan untuk belajar hadist kepada Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain. Ke Roy untuk belajar hadisyt kepada Nabi Muhammad bin Mahran, Abu Gasan dan lain-lain, ke Irak untuk belajar hadist kepada Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Maslamah dan lain-lain, ke hijjaz untuk belajar hadist kepada sa’id bin Mansyur dan Abu Mas’ab dan pernah ke Mesir untuk belajar Hadist kepada ‘Amar bin Sawad, Harmalah bin Yahya dan kepada para ulama’ ahli hadist lainnya. Ia pun pernah berkali-kali pernah mengunjungi kota Bagdad dan berguru kepada sejumlah ulama’ hadist senior. Ketika Imam Bukhori datang ke kota ini pun, ia aktif sekali menghadiri majlisnya dan menimbah banyak-banyak hadist dari al-Bukhari serta mengikuti jejaknya.
            Selain yang telah disebutkan diatas, masih sangat banyak guru beliau misalnya Usman Dan Abu Bakar, Keduanya Adalah Putra Abu Syaibah, Syaiban Bin Farwakh, Abu Kamil Al-Juri Zuhair Bin Harab, ‘Amir Al-Naqib, Harun Bin Sa’id Al-‘Ayli, Qutaibah Bin Sa’id, Qatabah Bin Sa’id, Al-Qa’nabi, Ismail Bin Uwais, Muhammad Bin Al-Musannah, Muhammad Bin Yassar, Muhammad Bin Rumhi dan lain-lain.
            Diantara sekian banyak muridnya, yang menonjol adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih dan zahid, yang merupakan periwayat utama dalam Sahih Muslim.
            Imam Muslim adalah salah seorang ahli muhaddis, hafiz yang terpercaya. Beliau banyak menerima pujian dan pangakuan dari para ulama’ hadist maupun ulam’ lainnya . al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sannat lengkap, dari Ahamad bin Salamah, katanya : "Saya melihat Abu Zur’ah daan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadist Shahih atas guru-guru mereka pada masanya. [3]
            Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.
            Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
             Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
            Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.
            Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).
            Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
            Seperti halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
            Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
            Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
            Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.
            Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.
            Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari lakukan.
            Imam Muslim adalah seorang sudagar yang beruntung ramah dan memilii reputasi tinggi. Al-Zahabi menjulukinya sebagai Muhsin Naisabur. Beliau tidak fanatik dngan pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerimah pendapat atau Kebenaran Dari Orang Lain
            Beliau Telah Berhasil Menyusun Banyak Karya, Diantaranya Kitab : (1) Al-Jami’ Al-Sahih, (2) Al-Musnad Al-Kabir ‘Ala Al-Rijal, (3) Al-Jabir Al-Khabir, (4) Al-Asma’ Wa Al-Kuna, (5) Al-‘Llal, (6) Awham Al-Muhaddisin, (7) At-Tamyin, (8) Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, (9) Al-Tabaqat Al-Tabi’in, (10) Al-Mukhadramin, (11) Awlad Al-Sahabah, (12) Intifa’ Bin Uhud (Julud) Al-Siba’, (13) Al-Aqran, (14) Su’alatihi Ahmad Bin Hanbal, (15) Al-Afrad Wa Al-Wihdan, (16) Masyaikh Al-Sauri, (17) Masyaikh Syu’bah, (18) Masyaikh Malik, (19) Al-Tabaqat Dan (20) Afrad Al-Syamiyin, (21) Al-Wuhdan, (22) Al-Sahih Al-Musnad, (23) Hadist ‘Amir Bin Syu’aib, (24) Rijal ‘Urwah, Dan (25) Al-Tarikh.[4]
            Menurut laporan Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, Imam Muslim telah menyusuntiga kitab musnad, yaitu:
1.      Musnad yang beliau bacakan kepada masyarakat adalah sahih.
2.      Musnad yang memuat hadist-hadist, meskipun dari periwayat yaang lemah.
3.      Musnad yang memuat hadist-hadist, meskipun sebagian hadist itu berasal dari periwayat yang lemah.

B.     SETTING SOSIAL-POLITIK
            Imam Muslim hidup pada masa daulah abbasiyah yang pusat kekuasaanya di kota Baghdad. Beliau hidup pada masa Abbasiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H-847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, bahkan samapai abad ke-4 hijriyah daulah islamiyah mencapai zaaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak terkecuali dalam bidang hadist. Keadaan itu antara lain karena negara-negara lain bagian dari Kerajaan Islam Raya berlomba-lomba dalam memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama’ dan para pujangga.[5]
            Pada masa ini secara politik terjadi rebutan pengaruh keturunan Arab dan keturunan Persia, keturunan Persia semakin eksis dan berpengaruh, sementara pengaruh dan keterlibatan keturunan arab semakin terpinggirkan. Keadaan inilah yang memicu ketegangan dan perpecahan umat Islam.
             Dalam pada itu, gerakan-gerakan atau aliran-aliran agama banyak bermunculan yang sering kali dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, misalnya gerakan al-Rawandiyah, al-Muqanna’iyah, al-Khurramiyah dan al-Zanaqiyah. Demikian juga timbul gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisis yaitu Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Dan Ahl Al-Sunnah.
            Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 hijriyah, telah lahir pada mujtahid dibidang ilmu fiqih dan ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan islam pun sangat pesat diantara para mujtahid, hubungan mereka sesungguhnya tidak ada masalah. Namun dikalangan para murid dan pengikutnya umumnya mereka sangat panatik dan bersikap taqlid, sehingga sering kali terjadi konflik diantara mereka yang terkadang melibatkan para ulama’nya.
            Dalam abad ketiga ini bentrokan pendapat telah makin meruncing, baik antar golongan, madzb fiqih, maupun antaar maadzab ilmu kalam. Paraa ulaama’ hadist pada masa ini menghadapi golongan madzab fiqih yang fanatik, dan madzab ilmu kalam, kusussnya kaum mu’tazilah, yang sangat memusuhi ulama’ hadist. Pertentangan pendapat antara ulama’ ilmu kalam dan ulam’ hadist sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad ke-2 hijriyah. Tetapi karena pada masa-masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada pada tingkat ketengangan-ketengangan antar golongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad ke-3 hijriyah di pegang oleh Khalifah al-Ma’mun (w.218 H-833 M) yang pendapatnya sama dengan kaum mu’tazilah, khususnya tentang kemakhluqkan al-qur’an, maka ulama’ hadist menghadapi ujian yang lebih berat lagi.
            Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi ulama’ hadist ini tetap berlanjut pada masa khalifah al-Mu’tasim (w.227 H-842M) dan al-wasiq (w.232H-846M). Barulah pada waktu khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H-846 M), ulama’ hadist mulai mendapat hadist segar yang menyenangkan, sebab khlifah ini memiliki kepedulian kepada al-Sunnah.
             Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadist. Pada masa ini hadist-hadist nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara itu, pemalsuan hadist dengan motifasi yang berbeda beda pun kian meraja lela. Dalam suasana seperti ini, bangkitlah para ulama’ hadist, melawat mencari hadist, menyeleksi dan menghimpun atau mengodifikasikannya. Imam muslim pun menyusun kitaab sahihnya.
            Bagi imam Muslim sekurang-kurangnya ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi dan memotivasi penyusun kitabnya tersebut. Kedua alasan itu adalah (1) karena pada masanya masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadist yang memuat hadist-hadist shohih dengan kandungan yang relatif komprehensif dan sistematis, dan (2) karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadist) palsu, yang mencapuradukkan antara hadist-hadist yang sahih dan yang tidak.
            Jadi jika memperhatika preodisasi sejarah dan perkembangan hadist, dapat dinyatakan bahwa kitab Sahih Muslim muncul pada periode ke-5(abad ke-3 H), yaitu masa pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan.pada periode ini, kegiatan ulama’ hadist antara lain mengadakan lawatan ke daerah daerah yang jauh, mengadakan klasifikasi hadist-hadist yang marfu’ (yang disandarkan pada nabi) yang maauquf (yang disandarkan pada sahabat) dan yang maqtu’ (yang disandarkan pada tabi’in), serta membuat klasifikasi kualitas hadist menjadi sahih dan daif. Selain itu mereka pun menghimpun kritik-kritik yang dilontarkan oleh ulama’ ilmu kalam dan lain-lain, baik yang di tunjukkan kepada para periwayat yakni pada sanadnya maupun pada matan hadistnya. Mereka pun menyusun kitab-kitab koleksi hadist secara sistematis.[6]

C.    Akhir Hayat Imam Muslim
            Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat
D.    Para Guru Imam Muslim
            Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
E.     Murid yang meriwayatkan Haditsnya
            Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.
F.     Pujian para Ulama Terhadap Imam Muslim
            Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat–ilat (cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata: “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya.” Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.” Abu Quraisy berkata: “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.




[1] Berbagai referensi lainnya menyatakan beliau lahir 206 H
[2] Muhammad Muhammad Abu syuhbah (selanjutnya ditulis  : Abu Syuhbah),Fi Rihab al Sunnah  al-Kutub al-Sihah al-Sittah, (kairoh: majma’ al buhus al-Islamiyyah, 1389 H-1969 M), 80
[3] DR. M. ABDURRAHMAN, MA, studi kitab hadist (yogyakarta:TERAS,2003),57.
[4] Ibid., 84, Al-Husaini Abd al-Majid Hasyim, Usul al-Hadist al-Nabawi: ‘Ulumuh wa Maqayisuh (kairoh: Dar al-Syuruq, 1406 H-1986 M), 210 dan Muhammad Mustafa Azami, studies....... 95
[5] A.Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 216.
[6] M.Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist (Bandung: Angkasa, 1991), 111-118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar